Setelah dua minggu Heidy sudah bisa berjalan sedikit, karena memang lututnya masih sakit jika kebanyakan berjalan. Namun hari ini adalah ulang tahun Heidy, artinya kami akan berpesta kecil-kecilan merayakannya di suatu tempat. Hans memilih Restaurant Jepang yang bisa makan sepuasnya, dia menyediakan segalanya untuk Heidy dari kue, hadiah, bunga, dan balon, kami makan di private room. Aku yakin Heidy menjadi orang yang paling bahagia malam itu. Kami semua merayakannya dengan bahagia.
Setelah menurutku malam ini akan selesai, aku memberikan waktu private kepada Heidy dan Hans untuk membicarakan privasi mereka. Aku pergi ke restroom. Aku mencuci tanganku, dan menatap wajahku didepan cermin. Aku mulai memasukkan jariku, aku tahu ini tidak boleh dilakukan, tapi rasanya sungguh tidak nyaman jika aku menahannya. Aku memasukkan jariku lagi, mengeluarkannya, dan memasukkannya lagi, seperti biasa akhirnya keluar. Aku mengulangi langkah yang sama, dan hampir semuanya kurasa sudah keluar. Aku merasa lebih baik, sungguh, ada kelegaan tersendiri.
Aku memandang mataku yang agak merah berair di cermin, aku tahu ini salah. Aku telah 1 tahun 10 bulan menderita Bulimia. Ya, memuntahkan makanan ketika aku merasa terlalu banyak makan, aku merasa tubuhku mudah menggemuk dan aku sungguh takut menjadi gemuk. Tidak ada orang lain yang mengetahui ini, termasuk Heidy pun tidak tahu. Aku tahu ini tidak boleh dilakukan dan akan berdampak pada kesehatanku seperti depresi otak, anemia, gagal jantung, kulit kering karena abrasi, dan masih banyak lagi yang akan terjadi.
"Olinnn,kau lama sekali. sedang apa kau ini?" Ucap Heidy dari balik pintu. Aku terkesiap kaget, aku tidak tau sejak kapan Heidy ada di balik pintu itu, Aku tidak meyetel musik tadi, apakah Heidy mendenganrnya? "Sebentarrrrrr" ucapku sambil mengelap mulutku dengan tissue, dan membuka pintu kamar mandinya, Heidy langsung berjalan cepat masuk, "Lama banget dehhh," ucapnya. Sepertinya dia sudah tidak tahan untuk membuang air kecil, tapi aku kira Heidy tidak mendengar apa-apa tadi karena dia bertingkah seperti biasa. Syukurlah.
***
Hari ini adalah hari kesebelas di bulan Juli.
Sinar matahari memantul dari balik cermin rias tempat Heidy bersiap untuk berjalan ke altar pernikahannya. Hari yang cerah, sesuai harapanku, Hans dan Heidy.
Hari ini adalah hari bersejarah, Heidy akan berpisah tempat tinggal denganku, dan aku sendirian.. sungguh sendirian. Aku sudah lebih dulu selesai di rias. Karena aku meminta riasan yang sederhana.
Aku melihat diriku dicermin.
Caroline Equivera yang sedang bercermin.
Aku melihat diriku di cermin.
Mataku coklatku yang terlihat naif dahulu, telah terlihat lebih cerdas dan berambisi sekarang. Aku tahu itu proses kehidupan yang telah mengubahnya.
Aku melihat diriku di cermin.
Rambutku yang hitam kecoklatan telah terkepang tulang dengan rapih, aku masih ingat bahwa dia bilang dia suka melihat rambut wanita yang terkepang.
Aku melihat diriku di cermin.
Seorang bulimia yang sedang bercemin.
Rahangku terlihat lebih nyata, dan tulang leherku terlihat agak lebih menonjol sekarang. Sungguh ini hal yang kubenci ketika memakai baju yang agak terbuka seperti ini, Heidy yang memilihnya untukku ketika aku memilih gaun yang bagian kerahnya mengerucut sampai ke leher. Heidy bersihkeras untuk memilihkan gaun yang seperti kemben ini, katanya aku akan terlihat berbeda jika memakai ini, karena biasanya aku selalu memakai turtle neck. Kuturuti kemauannya karena bersangkutan dengan hari bahagianya.
Aku dan Heidy tidak memiliki satupun keluarga yang tersisa. Walaupun sebenarnya masih ada saudara dari orang tua kami, tapi kami tidak menganggap mereka sebagai keluarga, karena apa yang mereka lakukan kepada orang tua kami tidak pantas disebut keluarga.
Jadi aku yang akan mendampingi Heidy untuk mengantarkan Heidy kepada Hans ke altar pernikahan mereka.
Lonceng gereja berbunyi, ini hari yang ditunggu-tunggu oleh Heidy.
Hari yang akan selalu terekam di memorinya, Hans, dan memoriku.
Heidy mengaitkan lengannya pada lenganku, kami berjalan menuju altar.
Semua mata para undangan tertuju pada Heidy, kecuali mata yang cerdas itu aku bisa melihatnya tertuju padaku.
Kulihat Hans sudah dekat, dan aku harus melepaskan Heidy sekarang untuk Hans.
Aku memeluk Heidy dengan sangat erat "Berjanjilah kau akan bahagia" ucapku menatap mata Heidy yang menahan air mata dengan tersenyum. "Pasti" ucapnya sambil menatapku dan memelukku lagi, kemudian ia menggandeng Hans dan menuju altar.
Semuanya berlangsung sempurna. Mereka telah resmi diberkati menjadi pasangan hidup sampai mati.
Semua para undangan berpindah dari altar chappel, menikmati hidangan yang telah disediakan di outdoor.
Aku berjalan ke pinggir bukit untuk melihat pemadangan aku tidak berniat untuk makan sekarang, karena aku tidak mau merusak riasan wajahku ketika aku selesai makan nanti.
Sungguh private wedding yang sempurna, aku sangat suka suasana disini,
Aku memandang laut biru yang terhampar luas dihadapanku.
Mememjamkan mataku.
Dan menghirup aroma laut yang terasa sempurna. Sungguh semuanya terasa sempurna.
"Sempurna bukan?" suara yang berat itu muncul dari belakang ku, seolah bisa membaca pikiranku. Aku menoleh sambil terkesiap kaget.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku dengan suara yang sudah kuusahakan tidak kaget.
"Aku diundang Heidy kesini, apa kau tidak tahu? " ucapnya meledek dengan gayanya yang khas.
"Maksudku, apa yang kau lakukan disini, semua para undangan sedang makan disana dan kau disiniiii?" tanyaku sambil menunjuk rumput hijau tempat ku berdiri dan kembali memandang mata cerdasnya.
Dia berjalan kearahku dan mengambil tempat berdiri di sisi kiriku. Dia belum menjawab pertanyaanku tadi.
Hening.
Kami terdiam dengan pikiran masing-masing sambil memandang lurus ke laut biru yang terhampar luas di depan kami.
"Bukankah itu pertanyaan yang harusnya kutanyakan padamu lebih dulu." ucapnya.
"Caroline Equivera. Mengapa kau disini? Apa kau takut makan? Apa kau masih melakukannya? " serangnya kepadaku, mata itu menatapku dalam.
Aku memandangnya, "Kau tahu aku sudah berusaha bukan? tapi apakah kau kira semudah itu prosesnya?" aku memandangnya lebih dalam.
Aku hampir lupa bahwa hanya dia yang tahu bahwa aku Bulimia. Dan itu salah satu penyebab kami berpisah, selain orang tuanya tentu. Dia sangat kecewa ketika aku merahasiakan hal itu sampai akhirnya dia tahu, dan dia membantuku untuk sembuh.
Namun itu tidak bertahan lama, seiring berjalannya waktu,
Perbedaan paham dan pendapat,
Gengsinya, gengsiku,
Waktunya, waktuku,
Kesabarannya, kesabaranku,
Cintanya, cintaku,
Orangtuanya, dan aku.
Tidak dapat bersatu.
Hal yang paling berpengaruh terhadap berakhirnya hubungan kami adalah orang tuanya yang tidak setuju jika kami menikah dengan satu kepercayaan. Itu membuat ku sangat kecewa, merasa dipermainkan, karena sungguh di awal yang kutahu darinya tidak seperti itu, sehingga aku memilihnya. Dengan tulus.
Dan karena kekecewaan itu aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengannya. Dia tidak mempertahankanku. Aku tidak mengubah keputusanku. Dan kami berpisah.
"Aku tahu, dan untuk itu aku disini.
Aku tahu jika kau tidak akan makan, untuk itu aku berdiri disini, karena aku tahu kau pasti akan ketempat ini." ucapnya sambil menunjuk rumput tempatnya berdiri." matanya cerdasnya menatapku lurus.
"Maafkan aku." tangannya menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan ketulusan suaranya, rasa bersalahnya, dan kehangatan tangannya mengalir diseluruh tubuhku seolah menuju ke kediaman jantungku dan mengetuk-ngetuk kedalamnya sehingga detak jantungku tak beraturan.
"Untuk apa?" tanyaku sambil satu kali mencoba melepaskan pergelangan tanganku dari genggamannya namun tidak berhasil lalu aku menyerah dan membiarkannya.
"Untuk tidak mempertahankanmu pada titik terendah hubungan kita saat itu.
Untuk menjadi bodoh dengan tidak mengajakmu bersama-sama mencari solusi untuk menghadapi orang tuaku.
Untuk tidak berasa disisimu saat kau sakit dan berjuang sembuh sampai sekarang ini.
Untuk tidak bisa berhenti mencintaimu sampai saat ini." Ucapnya lugas.
"Lalu mengapa kau mencari wanita lain jika kau tidak bisa berhenti mencintaiku?" tanyaku luluh.
"Siapa yang kau maksud? Aku tidak mencari siapapun juga Lin" ucapnya dengan suara yang terdengar agak kaget.
"Gadis itu, gadis cantik yang kau bawa ke caffe favoritku, yang memakai jam tangan favoritku" jelasku.
"Astaga, itu Vay sepupuku dari USA yang sedang berlibur ke Indonesia. Jadi kau cemburu saat itu?" ucapnya dengan berusaha menahan tawa, sungguh kulihat dia menatapku dengan berusaha menahan tawa. Menjengkelkan bukan.
"Oh ya? aku tidak pernah tahu kalau Vay secantik itu, lagipula siapa suruh kau tidak pernah memperlihatkan fotonya kepadaku Van......." Ucapku agak kikuk
"Jadi, apakah kita bisa memulainya kembali?" tanyanya. Tangan kirinya masih menggenggam pergelangan tangan kananku, ia berlutut menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna pastel . Tanpa kubuka aku tahu bahwa itu cincin yang dulu pernah ia janjikan akan diberikan padaku suatu saat nanti. Aku terdiam memandang kotak itu.
"Bagaimana dengan orang tuamu?" tanyaku lirih.
"Tidak ada yang mustahil bagi orang yang sama-sama berjuang untuk hal yang memang benar dan baik, bukan?" suaranya sungguh terdengar keren saat itu. Aku terdiam memandangnya. Dia tersenyum, Senyum yang sama. senyum yang membuatku jatuh hati padanya dari pertama dia berusaha merebut hatiku.
"Apa salahnya menerima tawaran orang yang gigih mau berjuang bersama-sama? " Ucapku sambil membalas senyumnya. Dia berdiri, melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tanganku dan membuka kotak pastel itu.
"Saya Harvan Samosei dengan tulus hati dan tanpa paksaan berjanji untuk tidak akan menyerah dan bosan berjuang bersama-sama dengan pacarku Caroline Equivera, sampai akhirnya kami bisa berjanji untuk hidup bersama-sama sampai mati di depan altar suci. Dan apakah pacarku juga demikiannnn???" Ucapnya dengan senyumnya yang khas itu. Aku tertawa kecil memandang matanya nya yang cerdas itu.
"Saya Caroline Equivera dengan tulus hati dan tanpa paksaan berjanji untuk tidak akan menyerah dan bosan berjuang bersama-sama dengan pacarku Harvan Samosei sampai akhirnya kami bisa berjanji untuk hidup bersama-sama sampai mati di depan altar suci." Kubalas senyumnya yang tulus itu. Dia menyematkan cincinnya di jari manis kiriku.
"satu,
dua,
tiga" ucapku.
"Janji adalah janji dan harus ditepati sampai mati. barangsiapa tidak menepati janji akan digentayangi suatu saat nanti" ucap kami bersama-sama sambil tertawa kecil. Hal agak konyol yang selalu kami lakukan ketika membuat janji. Dia memelukku dan sungguh aku bahagia dalam pelukannya.
***
Hari ini adalah hari kesebelas di bulan Juli.
Sinar matahari memantul dari balik cermin tempatku berias untuk berjalan ke altar pernikahan. Hari yang cerah, sesuai harapanku, dan Hans.
Hari ini adalah hari bersejarah, aku akan menikah dan tinggal dengan Hans. Sungguh berat rasanya meninggalkan Olin sendirian hidup tanpaku. Dia sudah lebih dulu selesai di rias dan kulihat dia termenung melihat dirinya di cermin. Mungkin ia tidak suka dengan gaun pilihanku. Melihatnya termenung seperti itu , aku jadi merasa bersalah karena telah memaksanya memakai gaun itu walaupun ia terlihat sangat cantik dengan gaun itu namun sepertinya ia tidak suka.
Aku dan Olin tidak memiliki satupun keluarga yang tersisa. Walaupun sebenarnya masih ada saudara dari orang tua kami, tapi kami tidak menganggap mereka sebagai keluarga, karena apa yang mereka lakukan kepada orang tua kami tidak pantas disebut keluarga.
Jadi Olin yang akan mendampingiku untuk berjalan kepada Hans menuju altar pernikahan.
Lonceng gereja berbunyi, ini hari yang ditunggu-tunggu oleh aku dan Hans.
Hari yang akan selalu terekam dalam memoriku dan Hans.
Aku mengaitkan lengannku pada lengan Olin, kami berjalan menuju altar.
Aku bisa melihat semua mata para undangan tertuju padaku.
Kulihat Hans sudah dekat, dan aku harus melepaskan Olin sekarang untuk menuju pada Hans.
Aku memeluk Olin dengan sangat erat "Berjanjilah kau akan bahagia" ucapnya sambil menatap ku. Kelopak mataku panas, tapi aku sadar aku tidak boleh menangis di hari yang bahagia ini, kutahan air mata yang hampir jatuh ini "Pasti" ucapku sambil menatap Olin dan memelukknya lagi, Aku berjalan menggandeng Hans dan menuju altar bersama-sama.
Semuanya berlangsung sempurna. Aku dan Hans telah resmi diberkati menjadi pasangan hidup sampai mati.
Semua para undangan berpindah dari altar chappel, menikmati hidangan yang telah disediakan di
outdoor.
Aku dan Hans berjalan menghampiri para undangan selagi mereka makan untuk menyapa mereka satu persatu. Karena ini adalah
private wedding jadi tidak begitu banyak orang yang kami undang.
Kulihat Olin berjalan kearah gundukan bukit pinggir laut, aku masih bisa melihatnya dari pandanganku, ia menikmati pemandangan itu dia yang memilih tempat ini untukku, karena ini salah satu tempat favoritnya saat ia pergi ke Bali.
Kulihat Harvan mengikutinya dari belakang, aku sungguh benar-benar tahu bahwa mereka masih saling mencintai. "Pasangan muda yang termakan oleh gengsi" ucapku sambil menyenggol lengan Hans. Hans melihat kearah mereka dan tertawa kecil. Kami mengamati mereka dari kejauhan, penasaran apa yang akan terjadi.
Olin terlihat kaget saat menengok kearah Harvan, terlihat Harvan mulai bercakap-cakap dengan Olin.
"Sungguh hebat, moment yang pas" ucap Hans sambil gantian menyenggol lenganku. Aku terdiam dan terus mengamati apa yang akan terjadi. Mereka bercakap-cakap entah apa, terlihat sangat serius, kukira aku tahu pasti mereka membicarakan mengenai hubungan mereka.
Harvan menggenggam pergelangan tangan Olin, aku dan Hans tertawa kecil, terlihat Olin berusaha menarik tanganya namun tidak berhasil, aku dan Hans ikut senang.
Hans merangkulku, seolah kami sedang menonton drama Korea.
Mereka bercakap-cakap cukup lama, aku sungguh penarasan setengah mati apa yang mereka bicarakan, aku berjanji akan meneror Olin untuk bercerita kepadaku walaupun aku sedang bulan madu nanti.
Aku melihat Harvan berlutut, dan memberikan sebuah kotak kecil di hadapan Olin, Aku dan Hans terkesiap kaget dan tertawa.
Semua orang tahu jika melihat bahasa tubuh Harvan, ia sedang melamar Olin.
"Aku berharap Olin berkata yes" Kata Hans.
"Lama sekali sih Olin menjawabnya, apa yang dia pikirkan sebenarnya" ucapku tidak sabar. Hans tertawa.
Harvan berdiri,tanpa memakaikan cincin itu di tangan Olin "Apakah Olin menolaknya"?? tanyaku pada Hans.
"Tidak tahu, kita tunggu lihat saja dulu" ucap Hans.
Mereka bercakap-cakap aku hampir mati penasaran saat itu.
Kulihat Harvan membuka kotak cincinnya dan menyematkannya di jari Olin.
"Greatttttt! It means yes, right? " ucapku pada Hans. Mereka berpelukan dan Hans juga memelukku sambil tertawa kecil bahagia.
-------------------------------------------------The End---------------------------------------------------------
Cheers,
Jovita :)